Kamis, 29 September 2016

Embun Pagi di Tanah Rabbani (Bag. Lima)

 
 

Oleh: Sofian Hadi
Unida, 29 September 2016



Hari Sabtu pagi itu. Suasana penghuni Tanah Rabbani terlihat mulai menggeliat seperti hari-hari sebelumnya. Kegiatan belajar-mengajar pun telah di mulai setelah shalat subuh di rayon masing-masing. Di temani hembusan angin yang belum terjamah sinar sang surya, santri-santri duduk dengan rapi di depan rayon kamar mereka masing. Di tangan mereka sedang memegang polpen dan nampak jelas bacaan di cover buku itu bertuliskan Daily Vocabularies. Bagi santri Rabbani, buku itu sangat sakral dan sarat akan makna. Karena mereka sadar, dari buku itulah kelak mereka akan bisa menuliskan bahasa-bahasa dunia, yang menjadi tanda bahwa mereka pernah mempelajarinya, walau di tempat yang tidak di huni pamilik bahasa tersebut. Sungguh penting isi dan peran buku kecil itu..

Sementara itu, di tempat lain nampak dua orang santri sedang terlibat percakapan yang serius, mereka sepertinya saling beradu argument tentang sesuatu yang berbeda menurut persepsi mereka masing-masing.

“Aku benar-benar kapok kemarin Lis, kenapa aku mau saja terpancing bujukan mu ke Taliwang untuk membeli sepatu baru, padahal sepatu lama ku masih bisa di pakai. Gara-gara kamu nama ku di catat oleh Pengurus Keamanan Tanah Rabbani, pasti nanti dzuhur aku akan di panggil dan rambutku akan di gusur lagi”. Abridin memprotes keras kepada Mukhlis tentang kepergian illegal mereka melalui jalan alternative itu. Dia sebenarnya tidak terlalu khawatir tentang hukuman yang lain, namun rambutnya baru saja tumbuh 1 cm di kepalanya dan esok hari rambut itu akan di buldozer lagi oleh Pengurus Keamanan Tanah Rabbani. Inilah yang menjadi ke-khawatiran terbesar yang akan menggangu penampilannya yang Maskulin.

“Kenapa kamu manyalahkan aku Din, kemarin kan aku tidak memaksa kamu harus ikut dengan ku. Bukannya kemarin kamu bersama Sholeh, Musa dan Salman, dan ketika aku mau berangkat kalian sudah berada di atas dokar, kenapa sekarang kamu menyalahkan aku?”. Mukhlis tidak terima dengan tuntutan Abridin yang tidak masuk akal itu. Padahal nama dia juga tertulis di dalam buku Pengurus Keamanan Tanah Rabbani. Mukhlis sendiri sebenarnya sedang memikirkan cara agar bisa lolos dari hukuman Pengurus Keamanan. Dia tidak mau berdebat lama dengan Abridin, karena pasti akan berujung pada kekalahan.

Di tempat lain pula Salman, Sholeh dan Musa justru tidak merasakan beban seperti yang di rasakan Abridin dan Mukhlis. Sebaliknya mereka terlihat asik bermain bola di lapangan setelah belajar Daily Vocabularies. Bagi mereka keluar melalui jalur alternative itu hal yang biasa. Karena selama ini mereka belum pernah tertangkap dan masuk dalam daftar Santri Misterius. Atau mungkin mereka adalah murid special yang mendapatkan keringanan karena mereka berasal dari Flores. Sebuah pulau yang terkenal dengan Komodonya yang masuk dalam daftar keajaiban dunia yang ke 10 itu.
Bisa jadi??!! Namun Entahlah..?!!

Dan datanglah waktu yang di nantikan itu, hari Sabtu setelah shalat dzuhur para santri di kumpulkan untuk di absen ulang. Pengurus membacakan daftar absen dan para Misterius yang menghilang di hari Jum’at.
“Abridin”
“Musa”
“Salman”
“Sholeh”

“Nama-nama yang saya sebut silakan maju ke depan, Santri yang duduk di shaff depan silakan pindah ke belakang”. Dengan nada tegas dan berwibawa. Pengurus Keamanan itu menunggu wajah-wajah misterius yang menghilang di hari Jum’at kemarin. Nampak dengan kopiah hitam, baju kokoh putih, dan sarung warna Kuning tua, Abridin berdiri melangkah ke arah depan. Wajahnya terlihat pucat kemerah-merahan menahan malu. Dia menoleh ke samping kiri-kanan memastikan apakah Mukhlis ada di masjid atau tidak. Dan alangkah kagetnya Abridin ketika melihat ke belakang Mukhlis ternyata sedang tertawa girang sambil menutup mulutnya dengan kedua kepalan tangan. Sementara Abridin menatap Mukhlis dengan tatapan permusuhan. Permusuhan di dalam pembuktian siapa yang lebih cerdas dan cermat dalam menghindari hukuman dari pengurus Rabbani itu. Dan kali ini Abridin kalah telak dalam pertarungan itu. Telak bagaikan tangan si leher beton Mike Tyson ketika meng KO kan Larry Homes di Ronde ke Empat pada tahun 1988 itu. Sangat menyakitkan!!

Semantara Musa , Salman dan Shaleh masih terlihat ragu untuk berdiri ke depan shaf. Mereka saling tatap satu sama lain. Mereka juga melihat ke belakang dan ratusan santri tertawa dengan gaya kocak mereka masing-masing. Mereka menertawakan Salman, Sholeh dan Musa karena kepala mereka sebentar lagi akan di gundul. Sebuah hal yang sangat aneh melihat 3 anak Flores itu di gundul secara bersamaan..

To be Continued..
Untuk melihat Bagian Empat klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar